Saturday, August 06, 2005

Lembaran ..

lingkaran :: Post a new topic

Tasawuf selalu menjadi topik yang hangat bagi keterbukaan maupun kesediaan oknum-oknum mengkajinya dengan bermacam-macam cara walaupun -terkadang- hanya sebatas obrolan saat minum teh.

Tasawuf pula selalu menjadi topik yang tabu bagi keterbelengguan cakrawala oknum-oknum yang enggan bahkan anti terhadapnya, dengan ketajaman dalil-dalil mengiringi.

Namun adakah yang pernah menafikan keterkaitan, keterlibatan, ikatan yang erat, nisbat dan bergudang istilah-istilah lain yang menggandengkan Tasawuf dengan Islam ?

sungguh tidak objektif dalam arti lain tidak sehat jika penafian itu pernah wujud.

jika ada yang mengatakan ia tidak ada dukungan dari pihak penyampai syariat (Nabi) dan tidak wujud dimasa Beliau.. atau ianya berasal dari luar tubuh Islam katakanlah pengaruh nasrani dan yahudi.. atau bahkan lebih jauh merupakan perpindahan faham filsafat yunani disebabkan terlihat -seakan- ada kesamaannya dengan sebagian faham Tasawuf.. duduklah bersila dan pertanyakan siapakah yang terlibat dalam lingkaran pembahasan ini ?!
sejarah secara lisan dan tulisan, oknum dan tokoh-tokoh dalam sejarah tersebut, yang bereaksi menguatkan (pendukung) dan melemahkan (penentang)..
mungkin satu-satunya sebab yang dapat menimbulkan perbedaan dijawabannya adalah terletak pada status si penanya yaitu diri anda sendiri.. artinya jika anda bukan sekelompok dengan mereka (muslim) maka sudah pasti perbedaan itu mencuat.

singkat saja sebetulnya jawaban itu, mereka adalah orang Islam, pemeluk Islam, Ulama-ulama Islam, ummat islam... inti kesemunya adalah muslim.

melihat hitungan waktu pada sejarah yang telah diukir.. tidaklah adil mengesampingkan ke tepi Tasawuf dari tubuh Ummat Islam, aqidah (keyakinan), pikiran, gaya hidup (tingkah/prilaku), pendidikan dengan dalih bahwa ianya sungguh riskan dan rentan akan nila-nilai kesesatan, tidak seperti yang lainnya (fiqh, tafsir, hadis -> syariat).

Sementara jika kesediaan kita terpancing untuk objektif -seperti yang diperintahkan Allah- dengan perwakilan firmanNya yang mengisyaratkan ummat Islam adalah ummat yang balance- maka makna riskan dan rentan juga melekat pada setiap sisi dan bidang bangungan Islam lainnya. tidak hanya tasawuf.. fiqh, tafsir, hadist (syariat) begitu pula lainnya sama-sama menyandang nilai ini.

sedikit kekanak-kanakan rasanya jika kita mengatakan bahwa semua itu -sebetulnya- merupakan satu hakikat sebuah nilai, sebab.. toh, pada realitanya setiap sisi berperan sangat siginifikan pada porsinya masing-masing, dan sekali lagi in idikuatkan oleh ukiran sejarah yang telah berlalu begtu pula dengan tinta yang belum kering untuk selanjutnya.
Dengan kata lain, skarang ini sudah bukan zaman yang mudah bagi sebagian kita untuk menerima apa yang dulu mudah dipercayai.. diantaranya susunan kalimat "yang menimbulkan nilai beragam adalah oknum bukan Islamnya". Padahal tidak pernah ada sebarang hal yang sanggup menghalangi kemungkinan hakikat dan hikmah mencuat lebih cemerlang dari kepolosan seorang bocah kecil berbanding kecendikiawan orang yang telah melewati tahapan usia bocah dan kedewasaannya.

Yang sampai dipikiran dan benak, hati dan rasa adalah.. bahwa tuntutan yang ada bukanlah menilai (memvonis) kebenaran dan kesalahan apalagi sampai pada tahap yang sangat berisiko 'me-muslimkan dan mengkafirkan' namun tuntutan itu tidak lain adalah sikap objektif.

Sikap objektif ini yang hilang dari kita ummat Islam sekarang sehingga sehinga seberapa spektakulerpun mujaddid (oknum dan faham) yang hadir diantara kita pengaruhnya sebatas cahaya lilin di zaman telah terbenamnya nilai listrik sebagai penerang bahkan hiasan. Bahkan, terkadang sangat disayangkan justru arahnya sangat menyimpang dari nilai-nilai keislaman itu sendiri ataupun hanya sebatas mencerahi sekelompok yang berujung kepada ekslusifisme, hampir serupa dengan kesan lilin yang diterangkan di atas.

Para sahabat Nabi, generasi awal penyambung estafet Islam sangat identik dengan sifat yang sekarang telah hilang dari kita itu, objektif.sehingga semua sisi dan bidang dari islam baik ketika tidak ada yang bergejolak maupun ketika masalah muncul.. objektifitas ini yang menyelamatkan ummat masa itu dari bersikap seperti yang muncul di zaman-zaman setelah masa mereka terutama era kita ini.

Seorang khalifah yang sempat ada kesalahan saat diatas mimbar dan dibenarkan oleh seorang wanita, seorang khalifah yang bersikap sangat tegas bagi pemisah antara sholat dan zakat, seorang khalifah rasulullah yang berdasarkan objektifitas mengedapan keengganan menafsirkan satu kalimat alquran atau masih mempertimbangkan keyakinan sebuah kebenaran yang telah tertanam di benaknya dengan memusyawarahkan kepada sahabat yang lain ... semuanya tidak menafikan bahwa perselisihan diantara sahabat sebagai realita, semua tidak menafikan perselisihan itu dalam beragam sisi dan bidang tubuh Islam; aqidah, sholat, zakat, warisan, perang dan lain-lain. Sikap objektif yang menjadi solusi harmonis bagi ummat saat itu.

Ya.. memang bekal pengetahuan berkat ayoman nabi secara langsung kepada mereka adalah -juga- merupakan modal solusi tersebut, tapi sekali lagi ditekankan bahwa sikap objektiflah yang memungkinkan hal tersebut. Karena 'balance' (ummatan wasata) dengan wujud perwakilannya adalah sikap objektif, memungkinkan penetahuan tidak melenceng dari hakikat dalam memilah positif dan negatifnya sebuah nilah. Sehingga posisi inilah satu-satunya cara untuk sampai kepada taraf ainul yaqin (hakikat mutlak) yaitu dengan menetahui nilai-nilai kedua sisi diatas (positif dan negatif). Selanjutnya ainul yaqin akan menghapus semua yang berbilang sebab bilangan tidak lagi sebuah matematika ataupun perhitungan.. melainkan ia lebih bermakna sebagai sebuah posisi.

Nabi menggambarkan hal tersebut dengan mengatakan bahwa amal (perbuatan baik) bukan modal keselamatan dunia apalagi akhirat melainkan Ridho Allah.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home